Betapa indahnya jika dalam satu keluarga itu semuanya pendakwah, dan masuk dalam anggota Wali Songo, Wali Allah yang menyebarkan kebaikan dan Islam di Pulau Jawa, yakni keluarga Sunan Ampel. Di mana Sunan Drajat, anaknya, juga mengikuti jejak beliau sebagai seorang pendakwah dengan banyak keteladanan yang menginspirasi.
Tersebutlah saudara kandung Sunan Bonang ini merupakan Wali Songo yang menyebarkan ajaran Agama Islam di Lamongan. Bertempat di Desa Drajat, Paciran, Sunan Drajat memulai dakwahnya hingga akhir hayat.
Sempat juga mengalami petualangan dengan berpindah tempat, ke pesisir uatara Jawa, namun akhirnya hatinya tetap berpihak pada Paciran. Kemajuan Islam di sana sangat pesat, ditambah dengan kemajuan masyarakatnya, utamanya di bidang ekonomi.
Keteladanan sebagai seorang wali sangat kentara dari pribadi Sunan Drajat yang memiliki jiwa sosial yang tinggi, sama dengan pribadi ayahnya dan saudara kandungnya. Tidak hanya menekankan pada penguasaan agama Islam saja, melainkan juga menekankan pada keterampilan hidup, sehingga bisa bersosialisasi dengan baik dan bisa meningkatkan kualitas hidupnya.
Kisah Sunan Drajat
Nama asli Sunan Drajat adalah Raden Qosim yang sejak kecil sudah menunjukkan kecerdasannya yang luar biasa. Untuk itulah kemudian sang ayah, Sunan Ampel, mengarahkannya untuk menjadi seorang pendakwah agar kecerdasan yang dimiliki oleh Sunan Drajat ini bisa bermanfaat untuk orang lain dan agama, utamanya.
Sebenarnya Raden Qasim ini tidak minat di dunia dakwah, sehingga dia tidak mau langsung berdakwah sendirian, melainkan bersama dengan kakaknya, Sunan Bonang. Namun usaha Sunan Ampel untuk membujuk ayahnya itu tidak berkurang, melainkan semakin gencar dengan mengutus Sunan Drajat untuk berdakwah sendirian ke Jawa Timur.
Lagi-lagi Raden Qosim menolak karena di Jawa Timur masyarakat Hindu sangat dominan, sehingg a psti sulit untuk ditembus. Akhirnya, Sunan Ampel menyerah dan memberikan keputusan kepada Raden Qosim untuk memilih wiayah dakwahnya, asalkan tidak satu wilayah dengan Sunan Bonang.
Tapi permintaan itu pun tidak disetujui langsung oleh Raden. Alhasil setelah beranjak dewasa, Raden pun memilih Lamongan sebagai tempatnya untuk berdakwah.
Figure kakaknyalah yang kemudian membukakan mata hatinya untuk ikut berdakwah. Lokasi tepatnya adalah di Desa Drajat, Lamongan, makanya kemudian Raden Qosim dipanggil dengan nama Sunan Drajat yang artinya derajat atau tingkatan kehidupan manusia.
Selain di Lamongan, Sunan Drajat juga melakukan dakwah di daerah pesisir utara Jawa. Namun beliau pun akhirnya juga kembali lagi ke Desa Drajat.
Di tahun 1486 M, Sunan Drajat dan kakaknya, Sunan Bonang membabat alas yang luasnya sekitar 9 ha. Banyak rintangan yang datang menghadang, yakni dari makhluk kasat mata yang menghuni hutan tersebut, karena tidak terima wilayahnya diganggu.
Masyarakat sekitar bukit diterior dan dihantui oleh makhluk penunggu bukit tersebut hingga merasa sangat terusik. Semuanya karena niat Sunan Drajat untuk membabat hutan, sehingga masyarakat ikut menajdi korbannya.
Namyn Sunan Drajat tidak lepas tangan. Beliau menjadi penengah masalah tersebut dan menyelesaikannya dengan baik, sehingga semua kembali damai.
Atas izin Allah dan bantuan yang didapatkan dari Sunan Ampel lewat mimpi, akhirnya Ndalem Dhuwur ( Rumah yang Tinggi ) pun jadi.
Alasan Sunan Drajat memilih membabat hutan tersebut adalah karena beliau percaya kalau di tempat tersebut sangatlah dekat dengan Allah SWT, sehingga kegiatan dakwahnya lebih mengenal dan juga berharap mendapatkan wahyu seperti apa yang didapatkan oleh Nabi Muhammad SAW ( yang juga berlokasi di atas bukit).
Di Ndalem Dhuwur inilah Sunan Drajat berdakwah dalam waktu yang cukup lama. Dukungan dari Sultan Demak I pun didapatkannya hingga beliau mendapatkan gelar Sunan Mayang Madu karena telah berhasil membabat alas dan membuat sebuah desa baru yang bernama Desa Drajat.
Sunan Drajat dan Desa Ngasinan
Lahirnya Desa Ngasinan ternyata sangat berhubungan erat dengan kisah Sunan Drajat, di mana da makna keteladanan didalamnya, yakni tentang sebuah kejujuran dan kehidupan. Keduanya adalah makna penting yang saling melengkapi untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hakikat sebagai manusia itu.
Tersebutlah pada suatu hari Sunan Drajat bertemu dengan seorang pemuda yang sedang memikul berat di bahunya. Lalu, Sunan Drajat pun menyapanya dan bertanya tentang benda apa yang sedang dipikul pemuda itu.
Si pemuda menjawab kalau dirinya sedang memikul garam. Lalu, Sunan Drajat pun bertanya kembali, pemuda itu pun menjawab dengan jawaban yang sama, yakni “garam.
Sunan Drajat pun bertanya sampai 3 kali karena beliau masih ragu. Saat menjawab pertanyaan kedua dan ketiga, suara pemuda itu semakin berat, seperti sedang menahan beban yang berat dan bahkan setelah menjawab pertanyaan yang ketiga kalinya, dia terjatuh dan tertindih benda yang dipikulnya itu.
Ternyat pemuda itu termakan oleh jawabannya sendiri, karena dia berbohong bahwa sebenarnya yang dibawanya itu adalah beras, bukan garam. Alhasil saat menjawab pertanyaan pertama, beras yang dibawanya sudah berubah menjadi garam, selanjutnya bertambah terus sampai jawaban bohongnya yang ketiga.
Saat pemuda itu terjatuh, semua garam pun berserakan kemana-mana, hingga semua air di wilayah tersebut pun rasanya asin. Sejak saat itulah, muncul Desa Ngasinan.
Sunan Drajat dan Ikan
Ada kisah yang sangat menarik tentang Sunan Drajat, ikan cakalang, dan ikan cucut saat proses dakwah yang dilakukannya. Di mana kisahnya bermulai saat beliau berdakwah di daerah pesisir utara, tepatnya di Gresik.
Dalam perjalanan, kapalnya tenggelam karena diterpa ombak yang sangat besar. Tidak ada yang menyangka kalau penumpangnya bisa selamat karena dipastikan tenggelam di laut.
Tetapi atas kuasa Allah, Sunan Drajat pun selamat. Beliau telah diselamatkan oleh ikan cakalang dan ikan cucut yang langsung membawanya menepi ke pesisir Desa Jelak.
Kisah ini mirip dengan kisah Nabi ya, yakni Nabi Yusuf yang diselamatkan oleh seekor ikan paus. Sebuah pelajaran berharga dari kisah keteladanan ini yakni manusia tidak boleh kalah dengan ikan yang suka menolong, karena manusia hidup itu harus saling tolong menolong, bukan menjatuhkan.
Metode dakwah Sunan Drajat
Metode dakwah awal yang dilakukan oleh Sunan Drajat adalah dengan cara memberikan kesejahteraan di saat beliau diberi kesempatan memegang kekuasaan otonomi di wilayah Kerajaan Demak selama kurang lebih 36 tahun lamanya.
Sunan Drajat memberikan bantuan kepada rakyat yang kekurangan dan membantu mereka meningkatkan kehidupan perekonomiannya dengan menambah skil dan pengetahuan. Di sela-sela kegiatan itulah dakwahnya berjalan.
Seperti saat menjalankan dakwah di daerha pesisir, Sunan Drajat sekalian memberikan pengetahuan kepada penduduk yang mayoritas adalah nelayan bahwa di laut itu ada banyak jenis ikan yang halal, tapi juga ada ikan yang haram.
Di Desa Drajat lah awal mula media tembang atau lagu Jawa digunakan sebagai metide dakwah Sunan Drajat dengan cara disisipkan paa dakwah-dakwahnya. Tembang Pangkur adalah salah satu tembang yang diciptakannya.
Pendekatan filosofi pun juga tidak lupa digunakan oleh Sunan Drajat dalam metode dakwahnya karena dirasa lebih kontekstual. Mengingat penduduk Hindu di Lamongan tidak tahu-menahu tentang Islam sebelumnya, jadi, jika penyampaiannya abstrak tidak akan mudah dipahami.
Ajaran Sunan Drajat
Ada beberapa ajaran penting Sunan Drajat yang sangat terkenal dan sudah banyak diaplikasikan sampai sekarang ini. Salah satu diantaranya yaitu ajaran Catur Piwulang.
Ajaran ini menjadikan kalian lebih mudah menguak sisi baik dari keteladanan yang ditunjukkan oleh Sunan Drajat, karena dasarnya adalah pada pendekatan sosio-religius, yakni prinsip yang menyeimbangkan antara kehidupan sosial dan beragama.
Isinya adalah berupa kata-kata kiasan atau denotasi yang sangat dalam maknanya. Penyampaiannya sederhana sekali.
Wenehono teken marang wong wuto (Berilah tongkat kepada orang yang buta)
Makna ini lebih kepada keadaan masyarakat yang berkekurangan, bukan hanya pada harta, melainkan juga pada fisik yang tidak sempurna. Tujuan pemberian tongkat ini adalah agar orang cacat tersebut bisa beraktivitas seperti manusia normal lainnya dan yang paling penting bisa bekerja sesuai dengan kemampuannya, mengingat keterbatasan itulah yang selama ini menjadi penghalang.
Wenehono pangan marang wong kaliren (Berilah makanan kepada orang yang kelaparan )
Dampak dari kemiskinan adalah kelaparan. Di mana dampak ini sangatlah menyedihkan, apalagi pada anak-anak yang tidak bisa tumbuh dan berkembang dengan sempurna karena asupan gizi yang kurang.
Selain itu, makna lain adalah pada penyebab kelaparan itu sendiri karena alam yang rusak. Alam tidak lagi menghasilkan, karena banyak dirusak oleh manusia yang tidak bertanggung jawab.
Wenehono sandang marang wong wudo (Berilah pakaian kepada orang yang telanjang )
Larangan untuk orang kaya agar tidak semena-mena kepada orang miskin, karena sebagian harta meraka adalah milik orang miskin. Pakaian dalam konteks ini bukan hanya sekedar memberikan pakaian atau baju atau kain penutup tubuh saja, melainkan juga perlindungan dengan berbagi kebahagiaan dan tidak membeda-bedakan perlakuan kepada orang miskin.
Wenehono payung marang wong kudanan (Berikanlah payung untuk orang yang kehujanan)
Payung yang dimaksud memiliki makna melindungi, sama dengan fungsi payung itu sendiri yang melindungi pemakainya agar tida kehujanan.
Hubungannya pun juga sangat erat dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial yakni tidak bisa hidup sendiri, pasti bergantung dengan orang lain. Maka dari ituah sikap menghormati dan menghargai harus selalu dipupuk.
Simak Juga : Sunan Bonang – Sejarah, Biografi, Peninggalan, Kisah, Karomah, dll
Ajaran Sunan Drajat yang kedua adalah filosofi tentang Tujuh Sap Tangga isinya adalah:
- Memangun resep tyasing sasoma (selalu bahagiakan hati orang lain)
Membahagiakan orang lain itu sama dengan membahagiakan diri sendiri
- Jroning suka kudu eling lan waspada (di dalam kebahagiaan harus selalu ingat dan waspada)
Maknanya bahwa kalian tidak boleh lalai, kalau sebenarnya di dalam kebahagiaan itu ada hal-hal buruk yang datang kapan saja. Jangan sampai terlena dan menyesal di akhir.
- Laksmitaning subrata tan syipta marang pringgabyaning lampah (dalam perjalanan meraih cita-cita selalu ada saja rintangan yang menghalangi langkah )
Sebuah pengingat kalau ingin sukses, maka kalian harus siap menghadapi rintangan-rintangan yang menghadang di setiap jejak langkah yang diambil.
- Meper Hardaning Pancadriya (manusia harus bisa menahan hawa nafsunya)
Manusia diciptakan dengan hawa nafsu, sehingga manusia itu bukan malaikat. Maka dari itulah manusia harus memiliki hati sekuat baja untuk mengontrol hawa nafsu bersama dengan pikirannya.
- Heneng, hening, henung (diam itu emas)
Hampir sam dengan peribahasa “ tong kosong nyaring bunyinya” dan “ ilmu apdi yang semakin berisi semakin merunduk”. Orang yang berilmu itu akan lebih banyak diam untuk berpikir daripada banyak omong kosong.
Sikap rendah hati itu adalah kepribadian orang yang akan sukses meraih cita-citanya, karena dalam diamnya menciptakan semangat untuk maju.
- Mulya guna Panca Waktu ( ketenangan batin itu didapat dengan menjalankan Sholat Wajib Lima Waktu )
Sebuah pengingat juga agar tidak melupakan sholat lima waktu agar hati tetap tenang. Ini adalah ajaran Sunan Drajat yang sederhana tapi dipastikan langsung menyentuh hati.
- Catur Piwulang
Di mana isisya sudah dibahas sebelumnya.
Kedua ajaran Sunan Drajat tersebut mengingatkan kalian untuk menyeimbangkan antara kehidupan sosial dengan kehidupan beragama.
Karomah
Seperti kelebihan yang dimiliki oleh salah satu nabi, Sunan Drajat ini bisa memanggil hewan, utamanya burung yang sedang asyik terbang, untuk diberi makan. Caranya adalah beliau berdo’a agar ada hewan atau burung yang menghampirinya, dan hal tersebut terjadi.
Burung-burung langsung mendatangi Sunan Drajat dan kemudian diberi makan. Barulah kemudian burung-burung itu terbang kembali.
Kecerdasan Sunan Drajat sudah sangat terkenal, bahkan beliau juga sangat ahli sebagai wiyaga ( orang yang memainkan gamelan). Keahlian inilah yang memberikan variasi menarik dalam setiap dakwahnya sehingga penyampaiannya nggak monoton cuma ceramah aja.
Seni ukir juga berhasil menarik perhatian Sunan Drajat sehingga beliau pun berhasil menguasainya. Inilah yang keumudian dijadikannya sebagai materi untuk mengasah keterampilan penduduk sehingga bisa membantu kehidupan perekonomiannya.
Simak Juga : Sunan Muria – Sejarah, Karomah dan Peninggalan
Keturunan
Sunan Drajat ini adalah putra dari Sunan Ampel yang lahir pada tahun 1470 M dengan ibunya yang bernama Nyai Ageng Manila.
Beliau adalah anak kedua dari 5 bersaudara, yang mana kakaknya adalah seorang wali yang terkenal kesaktiannya yakni Sunan Bonang. Sedangkan ketiga adiknya semuanya perempuan, yakni Siti Muntisiyah, Dewi Saroh Binti Maulana Ishak ( yang diperistri Sunan Kalijaga ), dan Nyai Ageng Maloka.
Sedangkan untuk silsilah keluarganya, nama istri Sunan Drajat ini adalah Nyai Kemuning yang ditemuinya saat beliau berdakwah di Desa Jelak. Nyai Kemuning adalah putri dari Mbah Mayang Madu, penduduk asli sana, yang juga seorang tetua kampung.
Wafatnya
Setelah Ndalem Dhuwur jadi, Sunan Drajat banyak menghabiskan waktu untuk berdakwah di sana, berbaur dengan masyarakat Desa Drajat, hingga beliau tutup usia di tahun 1522 M, tepat di usia yang baru 52 tahun.
Walaupun sudah wafat, beliau masih tetap dikenang oleh masyarakat Lamongan, umumnya, dan masyarakat Desa Drajat khususnya. Makamnya pun bisa diziarahi kapan saja untuk mengingat kembali perjuangan Sunan Drajat untuk Islam.
Makam
Makam Sunan Drajat ini adalah di Lamongan, tepatnya adalah di Desa Drajat yang memang masuk dalam kategori dataran tinggi yang dibabat bersama kakaknya dulu yang kemudian dikenal dengan Ndalem Dhuwur.
Kalian yang ingin berziarah, akan ditunjukkan lokasi Desa drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Setelah sampai di lokasi, maka posisi makam Sunan Drajat adalah yang paling belakang dan tempatnya paling tinggi, dilihat dari struktur ketinggian tanahnya.
Di sekitar makam, kalian akan melihat beberapa barang peninggalan Sunan Drajat yang berupa gamelan, lirik tembang Pangkur, dan juga dayung yang dipakainya berlayar dan dipakai ikan Cucut dan Cakalang untuk menyelamatkan Sunan Drajat.
Ada 7 halaman yang ada di dalam kompleks makam Sunan Drajat ini yang sudah mengalami beberapa kali pemugaran oleh pemerintah. Selain itu, ciri khas dari makam Sunan Drajat ini adalah pagar kayu yang mengelilingi makam.
Peninggalan & Karya:
Sunan Drajat sudah wafat, tetapi sisa-sisa perjuangannya dapat kalian pelajari dari peninggalan-peninggalan dan karyanya yang masih terawatt dengan baik, sehingga kapan pun bisa dikunjungi.
Berikut adalah beberapa peninggalan Sunan Drajat tersebut :
Tembang Jawa
Tembang Pangkur adalah salah satu karya Sunan Drajat yang menajdi peninggalan penting yang sampai kini dipelajari dalam mata pelajaran Bahasa Jawa sebagai salah satu tembang macapat.
Surau Banjaranyar
Ini adalah tempat ibadah pertama yang dibangun oleh Sunan Drajat. Di mana letaknya dalah di Banjaranyar yang awalnya bernama Desa Jelak.
Kehadiran surau ini membuat antusiasme warga sangat besar, karena tetua adat, yang salah satunya adalah mertua Sunan Drajat ini adalah seorang muslim sebelum Sunan Drajat datang.
Masjid Sunan Drajat
Lokasi dari masjid ini adalah satu kompleks dengan makam Sunan Drajat. Bangunannya yang awet itu sudah mengalami pemugaran juga, namun tidak menghilangkan ciri khas dari bangunan masjid.
Museum Sunan Drajat
Peninggalan ini tidak dibangun oleh Sunan Drajat, melainkan dibangun oleh pemerinta Lamongan untuk mengenang jasa-jasa Sunan Drajat dalam menyebarkan ajaran agama Islam.
Peresmian museum ini pun dilakukan pada tanggal 1 Maret 1992 oleh Gubernur Jawa Timur dan pada 27 Juni 1993 oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia.
Museum Sunan Drajat ini dibangun tepat di sebelah timur dari makam Sunan Drajat. Jadi, masuk dalam kompleks makam bisa sekaligus beribadah di Masjid Sunan Drajat dan museum Sunan Drajat.
Isi dari museum Sunan Drajat ini adalah berupa karya-karya yang dibuat oleh Sunan Drajat itu sendiri, barang-barang peninggalan lain berupa keramik, kertas-kertas, buku, bedug, kain, dll.
Singo Mengkok
Ini adalah nama set gamelan peninggalan Sunan Drajat yang tersimpan rapi, terawat, dan lengkap di dalam Museum Sunan Drajat yang lokasinya jadi satu dengan makam Sunan Drajat.
Makam Sunan Drajat
Makam Sunan Drajat ini berada di Perbukitan Paciran yang disebut Ndalem Dhuwur. Kompleks pemakaman wali yang satu ini juga sama dengan kompleks pemakaman wali lainnya yang tidak hanya ada satu makamnya saja, melainkan juga ada banyak makam lainnya.
Dalam kompleks pemakaman, ada masjid yang juga dibangun oleh Sunan Drajat. Namun ada keunikan lainnya, yakni adanya Museum Sunan Drajat yang dibangun tidak jauh dari makam sehingga peziarah bisa sekaligus melihat benda-benda peninggalan sejarah dakwah Islam Sunan Drajat.
Paciran menjadi lokasi yang menjadi bukti keberhasilan Sunan Drajat dalam berdakwah. Bukan hanya ilmu agama saja yang diajarkan, melainkan juga dalam bidang yang lainnya, utamanya adalah bidang ekonomi yang mana Sunan Drajat ini memberikan bekal keterampilan dan mendukung pengembangan SDM ( Sumber Daya Manusia ) penduduk agar kehidupannya lebih sejahter
Berawal dari paksaan berdakwah dari sang ayah, Sunan Ampel, kemudian muncul dari hati nurani terdalam untuk berdakwah, membuat Sunan Drajat benar-benar tulus dalam mengajarkan semua ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat Lamongan.
Perjuangan tidak pernah menghianati hasil, dan akhirnya desa Drajat, Paciran menjadi desa Islam yang dibabat oleh Sunan Drajat sejak awal. Hingga kini, desa ini pun ramai dikunjungi peziarah, karena ada makam Sunan Drajat di sana.